OtoHub.co - Di tengah semangat elektrifikasi kendaraan yang semakin menggeliat, satu pertanyaan besar mulai mengemuka di benak banyak calon pembeli. Bagaimana harga jual kembali mobil listrik?
Karena, sehebat apapun teknologi yang ditawarkan, bagi sebagian orang mobil tetaplah aset dan setiap aset, tentu ingin dijaga nilainya.
Pasar mobil bekas bisa jadi cermin paling jujur.
Sebut saja Toyota Fortuner VRZ 2016. Saat baru keluar, SUV ini dilepas di angka Rp 494 jutaan. Kini, di tahun 2025, unit bekasnya masih bertahan di sekitar Rp 380 jutaan.
Itu artinya depresiasi selama sembilan tahun hanya 23 persen, atau sekitar 2,5 persen per tahun.
Contoh lain Toyota Kijang Innova Reborn G AT 2016, yang satu ini bahkan lebih gila lagi.
Dari harga baru Rp 331 juta, mobil ini sekarang masih laku di angka Rp 300 jutaan, hanya turun 9,3 persen dalam sembilan tahun.
Angka depresiasinya nyaris tidak masuk akal untuk kendaraan modern cuma sekitar 1 persenan per tahun.
Lainnya, Mitsubishi Pajero Sport Exceed 2009 yang tetap jadi "peluru abadi" di pasar mobkas. Dari harga barunya yang Rp 370 jutaan, unit sekennya sekarang masih bertahan di angka Rp 200 jutaan.
Dalam 16 tahun, depresiasinya hanya 45 persen, sekitar 2,8 persen per tahun.
Nilainya tetap kuat karena pasar percaya terhadap daya tahan mesin, kemudahan perawatan, dan likuiditas saat dijual kembali.
Baca Juga:
Penjualan BYD Melejit, Kuasai Separuh Pasar Mobil Listrik Indonesia
Kondisi Mobil Listrik
Nah, bagaimana dengan kondisi mobil listrik saat ini?
Kita ambil contoh Wuling Air EV Long Range yang rilis pada 2022, punya harga baru Rp 295 jutaaan. Tapi di pasar mobil bekas tahun 2025, unitnya rata-rata hanya dihargai Rp 159 jutaan.
Artinya, dalam tiga tahun, mobil ini kehilangan hampir separuh nilainya turun 46 persen, atau sekitar 15,36 persen per tahun. Angka yang bikin kening berkerut.
Kasus serupa juga terjadi pada Hyundai Ioniq 5. Di tahun 2022, model Signature Long Range dipasarkan sekitar Rp 825 juta.
Namun pada 2025, harga di pasar mobkas hanya berkisar Rp 445 jutaan. Itu berarti nilai mobil ini menyusut lebih dari Rp 380 juta dalam tiga tahun.
Persentase depresiasinya? 46 persen. Dan jangan lupa, ini model andalan Hyundai untuk pasar EV, bukan varian bawah.
Lantas BYD, pendatang baru yang belakangan ramai diberitakan karena strategi harganya yang agresif, ternyata juga menghadapi realita serupa.
Contoh BYD Seal Performance yang baru dijual awal 2024 di angka Rp 719 juta, kini pada pertengahan 2025 sudah dilego di harga Rp 600 jutaan. Baru setahun, nilai turun 16,5 persen.
Sementara BYD M6 Superior pun mengalami penurunan harga sekitar 10,48 persen hanya dalam 12 bulan.
Ini menunjukkan bahwa pasar tidak semata-mata menilai dari tahun produksi atau teknologi, tapi juga dari ekosistem pasca jual yang belum solid.
Mengapa depresiasi EV begitu cepat? Ada beberapa faktor yang bermain di balik layar.
Pertama, diskon agresif dari dealer untuk menghabiskan stok tahun sebelumnya membuat harga mobil baru menjadi sangat fleksibel.
Ketika unit baru bisa dibeli dengan harga diskon, maka unit bekas otomatis harus berkompromi di harga yang jauh lebih rendah.
Selain itu, masih ada ketakutan pasar soal usia baterai dan ketersediaan aftersales.
Banyak pembeli merasa belum sepenuhnya yakin dengan umur pakai baterai mobil listrik dan harga penggantiannya.
Belum lagi jaringan bengkel serta pasokan suku cadang EV yang masih terbatas.
Semua ini membuat mobil listrik bekas terasa kurang likuid dan kurang menjanjikan secara nilai investasi.
Kecuali, bagi mereka yang tidak memikirkan nilai jual kembalinya.
Baca Juga:
Mobil Listrik Xpeng X9 Banjir Pesanan, Pecahkan Rekor Penjualan MPV Listrik di Dunia
Menurut salah satu pemilik showroom mobil bekas di bilangan Jakarta Selatan yang enggan disebutkan namanya, konsumen saat ini mulai makin kritis dalam memilih mobil, bukan cuma soal fitur, tapi juga mempertimbangkan resale value.
"Sekarang pembeli itu bukan cuma lihat irit atau nggaknya, tapi juga mikir nanti dijual lagi bisa balik berapa. Mobil listrik memang irit dan bebas ganjil genap, tapi resale value-nya masih goyang," ujarnya.
Fenomena ini seharusnya jadi wake-up call bagi industri otomotif. Bahwa konsumen Indonesia masih sangat rasional.
Mereka tertarik dengan teknologi baru, tapi tak bisa dibohongi dengan euforia sesaat.
Jika pabrikan benar-benar ingin mendorong adopsi kendaraan listrik, mungkin sudah saatnya memikirkan program buyback, garansi harga jual kembali, atau skema insentif lainnya yang bisa menjamin nilai residual EV di masa depan.
Karena saat ini, tren yang muncul cukup jelas: semakin canggih mobilnya, semakin cepat nilainya turun, kalau ekosistemnya belum siap.
Jadi sebelum tergiur diskon besar dan fitur futuristik, pastikan dulu kamu tahu berapa harganya tiga tahun ke depan. Jangan sampai gaya hidup hijau malah bikin dompet merah.