News Harryt DaguHarryt Dagu Senin, 21 Juli 2025 14:16:16

Mobil Bekas Jepang Lawan China dan Korea, Siapa Paling Tahan Depresiasi di Pasar Saat Ini?

Mobil Bekas Jepang Lawan China dan Korea, Siapa Paling Tahan Depresiasi di Pasar Saat Ini?
Yosi Setyo/OtoHub

(Ilustrasi) Sentra mobil bekas di Magelang Yogyakarta

OtoHub.co - Pasar mobil bekas di paruh pertama 2025 kembali menunjukkan seleksi alam yang cukup keras. Dari segi fitur, pabrikan Jepang, China dan Korea Selatan kini bisa dibilang saling berkejaran.

Tapi kalau bicara soal nilai jual kembali alias depresiasi, kenyataannya tidak semua bisa bertahan di angka yang sehat.

Menurut data dari pelaku sentra mobkas (mobil bekas) seperti Indigo Auto Paramount, di BEZ Auto Center Gading Serpong, dan ITC Mangga Dua, mobil-mobil asal Jepang secara umum masih unggul dalam menjaga harga bekas.

Sebut saja Toyota Kijang Innova Zenix yang tergolong baru, depresiasinya hanya sekitar 6-8% atau Rp 20-30 juta, sementara Honda HR-V lansiran 2022-2025 turun Rp 30-50 juta (10%).

Lanjut, Nissan Kicks, yang sudah mengusung teknologi e-Power, juga hanya turun sekitar 8-12%.

"Pasar Jepang itu kuat di persepsi. Konsumen percaya servis gampang, spare part aman, dan harga bekasnya enggak bikin kaget," ungkap Yudi Budiman, pemilik showroom mobkas Indigo Auto, saat ditemui di showroom-nya di kawasan Paramount Serpong, Banten.

Baca Juga:

Depresiasi Brutal, Toyota Alphard dan Mobil Listrik Jadi Korban di Pasar Mobkas 2025

Depresiasi Mobil China

Sebaliknya, mobil asal China, meski punya nilai jual baru yang agresif dan fitur canggih, justru lebih cepat kehilangan harga di pasar bekas.

Chery Omoda E5 misalnya, meskipun baru diluncurkan awal tahun ini, sudah mengalami depresiasi Rp 50-60 juta (10-12%).

Lalu BYD Seal, yang sempat digadang-gadang jadi ikon mobil listrik premium asal Tiongkok, harga bekasnya juga turun Rp 30-70 juta (8-12%).

Kemudian Wuling Binguo EV, yang awalnya cukup laris, kini harga bekasnya sudah terkoreksi Rp 30-40 juta.

Menurut Yudi, ini terjadi karena pasar mobil listrik masih dalam masa transisi.

Konsumen cenderung berhati-hati, apalagi jika menyangkut pabrikan baru yang belum punya historis panjang di Indonesia.

"Sekarang beli EV itu seperti beli saham startup. Bisa untung besar, bisa juga jatuh cepat. Nah, Tiongkok banyak di posisi itu," ujarnya.

Lantas, "Pembeli masih mengkhawatirkan masa pakai dan harga baterai jika harus diganti. Dan memang biaya penggantian baterai masih sangat mahal," beber Yudi.

Biaya baterai yang bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah ini tentu menjadi momok yang membuat calon pembeli mobil listrik bekas berpikir ulang.

Kedua, kecepatan inovasi teknologi baterai dan model baru yang terlalu agresif.

"Setiap tahun selalu ada pengembangan teknologi baterai yang memungkinkan jarak tempuh semakin jauh. Ini membuat mobil listrik yang diproduksi tahun-tahun sebelumnya menjadi cepat ketinggalan zaman," jelas Yudi.

Dia memberikan contoh nyata pada Wuling Air EV. Model Long Range yang dulu meluncur di harga lebih dari Rp 300 juta, kini ada versi baru Long Range dengan harga di bawah Rp 200 juta.

"Itu yang menyebabkan harga secondnya itu turun juga. Karena produk barunya juga keluarnya dengan lebih improve, harganya lebih terjangkau," paparnya.

Fenomena kanibalisasi ini bukan hanya terjadi antar generasi model, tapi juga antar lini produk dalam satu merek.

Lalu bagaimana mobil asal Korea Selatan?

Ternyata, posisi brand mobil asal Korea Selatan ada di tengah-tengah. Tak sekuat Jepang, tapi juga tidak seburuk Tiongkok.

Hyundai Ioniq 5 misalnya, flagship EV dari Korea, alami depresiasi Rp 80-150 juta (10-12%), tergolong besar namun bisa dimaklumi karena harganya tinggi sejak awal.

Hyundai Stargazer, yang masuk kelas LMPV, juga turun Rp 20-30 juta (8%), sementara Kia Seltos dan Sonet masing-masing alami depresiasi 10% dan 8%.

Sebagai catatan, depresiasi terbesar di kelas MPV premium justru masih dipegang oleh mobil Jepang. Toyota Alphard AH30 (2015-2023) jadi korban terparah dengan depresiasi tembus Rp 200-250 juta (2025%).

Namun ini lebih disebabkan oleh siklus model dan lonjakan stok di pasar bekas, kemungkinan bukan karena penurunan minat.

Jadi, siapa yang paling tahan depresiasi di 2025? Mobil Jepang masih memimpin. mobil Korea mulai menyusul. Mobil Cina? Masih harus membuktikan diri.

Related Article

Related Category