OtoHub.co - Nissan sedang tidak baik-baik saja. Pabrikan legendaris asal Jepang itu baru saja mengumumkan kerugian terbesar mereka dalam seperempat abad terakhir. Yakni sebesar 670,9 miliar Yen, atau sekitar Rp 75,5 triliun.
Di tengah derasnya gelombang elektrifikasi dan perubahan peta industri global, Nissan bukan hanya terpukul, tapi justru mereka sudah terguncang.
Angka kerugian itu bukan sekadar neraca merah. Ini adalah peringatan bahwa masa depan Nissan kini benar-benar dipertaruhkan.
Di bawah kepemimpinan Ivan Espinosa, yang baru saja menjabat sebagai CEO Nissan, perusahaan meluncurkan strategi pemulihan besar-besaran bertajuk Re:Nissan.
Judulnya terdengar optimis, tapi isinya menunjukkan skenario paling brutal yang mungkin pernah dilakukan perusahaan ini sejak nyaris bangkrut tahun 2000.
Dikabarkan ada 11.000 karyawan bakal di-PHK, menyusul 9.000 pemangkasan karyawan sebelumnya.
Tujuh pabrik akan ditutup bertahap hingga 2027, menyisakan hanya 10 fasilitas produksi aktif secara global.
Baca Juga:
Nissan Diambang Bangkrut, Lebih Pilih Tenggelam Daripada Merger dengan Honda, Kenapa Begitu?
Tak hanya itu, pabrik baterai Nissan di Kyushu Jepang, yang dulu digadang jadi simbol elektrifikasi Nissan juga dibatalkan.
Semua langkah tersebut menunjukkan satu hal, Nissan sedang memotong lemak, dan mungkin juga dagingnya sendiri.
Sebagai catatan, penjualan global Nissan turun 2,8%, hanya menyisakan 3,35 juta unit.
Tapi yang paling mengkhawatirkan adalah laba operasional yang amblas 88%, menyisakan sekitar AU$731 juta saja.
Adapun, terkait kinerja buruk perseroan, Espinosa tidak mencoba menutupinya.
"Ini adalah keputusan yang sangat menyakitkan. Kami tidak akan melakukan ini jika tidak diperlukan demi kelangsungan hidup Nissan," ujarnya dalam konferensi pers yang terkesan lebih seperti ruang darurat krisis ketimbang peluncuran rencana masa depan.
Ia melanjutkan, Re:Nissan dirancang untuk memangkas biaya hingga 500 miliar Yen (sekitar Rp 55 triliun).
Baca Juga:
CEO Nissan Makoto Uchida Mengundurkan Diri, Penggantinya Bukan Orang Jepang Lagi
Caranya memotong anggaran riset dan pengembangan 20% per jam kerja, menyederhanakan 70% komponen kendaraan, hingga mempercepat waktu pengembangan dari 37 bulan menjadi 30 bulan.
Bahkan jumlah platform mobil akan dipangkas dari 13 menjadi hanya 7 pada 2035.
Sebagai konsekuensinya, Nissan menghentikan pengembangan mobil baru pasca 2026 untuk sementara.
Fokus mereka adalah efisiensi total, bahkan kalau perlu melepas ambisi jangka pendek. Ironisnya, ini dilakukan saat dunia justru menuntut gebrakan baru dari industri otomotif.
Tapi bukan berarti Nissan menyerah total pada inovasi. Mereka tetap menggarap model-model baru. Termasuk SUV pengganti Skyline.
Mencakup SUV kompak dan SUV mewah untuk lini Infiniti, merek yang saat ini justru sedang kesulitan bertahan di pasar besar seperti Amerika Serikat dan Tiongkok.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan yang lebih dalam, apakah Re:Nissan adalah upaya penyelamatan terakhir, atau justru strategi transformatif yang bisa membawa Nissan keluar dari pusaran krisis?
Ataukah ini hanya perpanjangan waktu sebelum akhirnya Nissan benar-benar jadi sejarah?
Jawabannya belum ada. Tapi satu hal sudah jelas, ini bukan lagi soal laba, melainkan soal bertahan hidup.