OtoHub.co - Depresiasi mobil listrik atau BEV (Battery Electric Vehicle) di pasar mobil bekas Tanah Air menjadi perbincangan hangat. Karena faktanya jauh dari sekadar spekulasi. Yakni, nyungsep alias menurun tajam.
Salah satu pemain mobil bekas kawakan, Yudi Budiman, membenarkan bahwa nilai jual kembali (resale value) mobil listrik memang sedang nyungsep, dan tren penurunannya lebih tajam dibandingkan mobil bermesin pembakaran internal (ICE).
Kondisi ini, menurut Yudi, bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi merupakan fenomena global yang dipicu oleh beberapa faktor krusial.
"Sampai saat ini kalau depresiasi EV masih lebih tinggi dibandingkan mobil bensin atau diesel," tegas Yudi, yang juga pemilik showroom mobil bekas Indigo Auto di BEZ Auto Center, Gading Serpong Blok A39, Kabupaten Tangerang, Banten ini.
Ia merinci bahwa mobil bensin atau diesel umumnya mengalami depresiasi sekitar 15-20% di tahun pertama. Angka ini relatif stabil dan bisa diprediksi.
Namun, tidak untuk mobil listrik, persentase penurunannya jauh lebih besar, bisa mencapai 20-30% di tahun pertama, lalu anjlok 10% di tahun-tahun berikutnya.
Hal ini berarti, dalam waktu singkat, pemilik mobil listrik bisa melihat harga jual kembalinya menguap dengan cepat.
Baca Juga:
Pasar Mobil Bekas Masih Seksi, JBA Optimistis Tembus Target 55 Ribu Unit Penjualan di 2025
Kekhawatiran Baterai dan Inovasi Serba Cepat
Mengapa depresiasi mobil listrik begitu tak terbendung? Yudi mengidentifikasi dua pemicu utama.
Pertama, kekhawatiran yang mendalam dari konsumen akan masa pakai dan biaya penggantian baterai.
"Pembeli masih mengkhawatirkan masa pakai dan harga baterai jika harus diganti. Dan memang biaya penggantian baterai masih sangat mahal," ujarnya.
Biaya baterai yang bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah, tentu menjadi momok yang membuat calon pembeli mobil listrik bekas berpikir ulang.
Kedua, kecepatan inovasi teknologi baterai dan model baru yang terlalu agresif.
"Setiap tahun selalu ada pengembangan teknologi baterai yang memungkinkan jarak tempuh semakin jauh. Ini membuat mobil listrik yang diproduksi tahun-tahun sebelumnya menjadi cepat ketinggalan zaman," jelas Yudi.
Dia memberikan contoh nyata pada Wuling Air EV. Model Long Range yang dulu meluncur di harga lebih dari Rp 300 juta, kini ada versi baru Long Range dengan harga dibawah Rp 200 juta.
"Itu yang menyebabkan harga sekennya itu turun juga. Karena produk barunya juga keluarnya dengan lebih improve, harganya lebih terjangkau," paparnya.
Fenomena kanibalisasi ini bukan hanya terjadi antar generasi model, tapi juga antar lini produk dalam satu merek.

Yudi Budiman. Calon konsumen mobil listrik bekas masih dikhawatirkan soal baterai di kemudian hari
Yudi menyebut kasus BYD Seal yang nilai jualnya hancur karena kemunculan BYD Sealion 7.
Meskipun BYD Seal sempat mematahkan stigma sedan tidak laku, Sealion 7 dengan fitur lebih canggih, harga lebih terjangkau, dan bentuk SUV yang digemari pasar Indonesia, justru "membunuh" harga jual kembali saudaranya sendiri.
"Yang ngeri ini adalah, harganya lebih terjangkau, atau lebih murah dibanding Seal, dengan ground clearance, dan penampakannya, orang Indonesia suka banget nih, SUV bro," kata Yudi.
Ia menggarisbawahi betapa cepatnya pasar EV Tiongkok berinovasi dan merilis produk baru yang menggeser model lama. Justru membuat resale valuenya terjun bebas.
Baca Juga:
Milenial Jangan Tergiur Harga Murah, Begini Cara Deteksi Mobil Bekas Banjir
Daya Tarik Terbatas di Pasar Bekas
Meskipun harga mobil listrik seken lebih jatuh, Yudi mengakui tetap ada permintaan.
Konsumen yang berburu mobil listrik bekas biasanya sudah sadar akan depresiasi, dan mencari keuntungan dari harga yang lebih murah, sekitar 20-30% dari harga barunya.
Mereka juga mempertimbangkan benefit lain seperti bebas ganjil genap, pajak STNK yang sangat murah.
"Contoh BYD Denza yang pajak tahunannya hanya Rp 600 ribu, dibandingkan Alphard Rp 20 juta, dan biaya operasional harian Denza yang sangat hemat," beber Yudi, yang dikenal sebagai mantan Kepala Cabang salah satu dealer Toyota ini.
Namun, Yudi menekankan bahwa pembeli mobil listrik, termasuk di segmen entry-level, bukanlah pembeli mobil pertama.
"Owner, atau prospect customer, beli EV, itu bukan mobil pertama. Mereka sudah mobil ke-2 atau ke-3," bilangnya lagi.
Ini berbeda dengan mobil seperti (Toyota) Agya atau (Honda) Brio yang seringkali menjadi mobil pertama keluarga. Mindset konsumen di segmen entry-level pun masih cenderung memilih ICE.
Atas dasar risiko depresiasi yang tinggi dan sulit diprediksi ini, pria ramah ini secara pribadi masih lebih memilih menyetok mobil bekas ICE di showroomnya, dengan porsi 80-90% dibandingkan EV.
"Terlalu beresiko stok banyak mobil EV," akunya menganalisa permintaan mobil bekas EV.
Ia bahkan menyarankan agar konsumen yang ingin membeli mobil listrik bekas, sebaiknya membeli unit dengan harga di bawah Rp 400 juta.
"Penurunan depresiasinya bikin sakit kepala, bisa bikin demam tinggi," candanya.
Ia mencontohkan, Hyundai Ioniq 5 tahun 2022 yang harganya anjlok hampir 50% dalam 3 tahun dengan kilometer rendah, menjadi bukti betapa beratnya kerugian yang harus ditanggung pemilik.
Melihat kondisi ini, pasar mobil listrik bekas masih berada dalam fase wait and see. Yudi memperkirakan bahwa titik krusial untuk melihat stabilitas harga jual kembali EV akan tiba sekitar tahun 2030.
Yakni dimana masa pakai baterai dan biaya penggantiannya akan menjadi penentu, apakah mobil listrik akan berjaya di pasar bekas atau justru mobil Jepang akan kembali menjadi pilihan utama konsumen.
Nah saat ini, laju depresiasi yang tak terbendung memang menjadi tantangan besar bagi para pemilik mobil listrik.
Wah, jadi ikut sakit kepala nih, moga nggak sampai demam tinggi, hehehe...